Pada masa Nabi Muhammad (saw), umrah dilakukan dengan cara yang mirip dengan yang dilakukan saat ini, dengan beberapa perbedaan kecil karena perubahan lingkungan dan infrastruktur wilayah. Umrah adalah ziarah ke kota suci Makkah dan dapat dilakukan kapan saja sepanjang tahun, tidak seperti haji yang dilakukan selama periode waktu tertentu.
Pada masa Nabi, umrah dilakukan oleh jamaah yang datang dari berbagai penjuru Arab. Mereka akan memasuki kondisi Ihram, yang melibatkan mengenakan dua potong kain tanpa jahitan, satu dililitkan di pinggang dan yang lainnya dililitkan di bahu. Para peziarah kemudian akan melanjutkan untuk melakukan Tawaf, yang melibatkan mengelilingi Ka’bah tujuh kali berlawanan arah jarum jam sambil membaca doa.
Setelah selesai Tawaf, jemaah akan melakukan Sa’i, yaitu berjalan bolak-balik antara bukit Safa dan Marwa sebanyak tujuh kali. Hal ini dilakukan untuk mengenang perbuatan istri Nabi, Hajar, yang berlari di antara bukit-bukit tersebut untuk mencari air bagi anaknya, Ismail.
Setelah menyelesaikan Sa’i, rambut jemaah akan dipotong atau dicukur, menandakan akhir Umrah. Para jemaah kemudian akan keluar dari keadaan ihram dan dapat melanjutkan aktivitas normal sehari-hari.
Secara keseluruhan, ziarah umrah pada masa Nabi adalah proses yang sederhana dan mudah, dengan fokus pada doa, pengabdian, dan mengingat Allah.